Antara Freeport (Amerika) , Papua , dan Pelanggaran HAM - Bagian 1 -


Penulis: Siti Wulandari
Mahasiswa FISIP-Hubungan Internasional
Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
8 Juli 2012

PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan tambang yang sahamnya dimiliki oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) sebanyak 81,28 % , Pemerintah Indonesia sebanyak 9,36 % dan PT. Indocopper Investama sebanyak 9,36 %. Publikasi dari Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan internasional, menyebutkan bahwa PT. Freeport Indonesia ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui pertambangan Erstberg (sejak tahun 1967) dan pertambangan Grasberg (sejak tahun 1988) yang berlokasi di Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Adapun bahan tambang yang dihasilkan dari penambangan yang dilakukan di Papua ini antara lain tembaga, emas, perak, molybdenum, rhenium, dan akhir-akhir ini ditemukan uranium (bahan dasar pembuat nuklir).
Dari presentasi kepemilikan saham tersebut, telah jelas sekali bahwa Indonesia memiliki bagian saham yang sangat kecil dibandingkan dengan kepemilikan saham Amerika. Tentunya, ini sangat merugikan bagi Indonesia, karena dengan demikian sebanyak 81,28% SUMBER DAYA ALAM RAKYAT INDONESIA dimiliki oleh asing, oleh Amerika. Padahal, sangat jelas sekali bahwa, dalam UUD 1945 Pasal 33, (Ayat 2, 3 dan 4) seharusnya SUMBER DAYA ALAM tersebut dikuasai Negara dan dikelola untuk KESEJAHTERAAN DAN KEMAKMURAN RAKYAT INDONESIA.

Pasal 33 UUD 1945:
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

PT. Freeport Indonesia mulai masuk ke Papua dan melakukan penambangan sejak tahun 1971. Mereka melakukan penambangan di sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme), di mana di daerah tersebut masih terdapat warga suku Amugme yang tinggal dan menetap di sana. Warga suku Amugme kemudian dipindahkan ke wilayah kaki pegunungan, dan dibukalah tambang Ertsberg. 

Pemindahan warga suku Amugme tersebut tentu merugikan bagi mereka di kemudian hari, karena limbah pertambangan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia dibuang ke perairan pegunungan tersebut, serta dataran rendah basah yang berada di sekitar daerah pegunungan itu. Mereka dipindahkan (bisa kita bilang secara paksa) kemudian diberi kesusahan dengan bahaya limbah pertambangan oleh PT. Freeport, apakah itu manusiawi? Padahal mereka tidak menikmati keutungan penambangan seperti yang dinikmati oleh para pemilik Freeport, terutama Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Jelas sekali bahwa kegiatan yang dilakukan oleh PT. Freeport ini menyalahi konstitusi kita, UUD 1945, Pasal 33, terutama ayat 2, 3 dan 4.
Ketika tambang Ertsberg ini habis masa open-pit nya pada tahun 1989 sehingga Freeport membuka tambang baru, yaitu tambang Grasberg yang izin produksinya dikeluarkan oleh Ginandjar Kartasasmita, Menteri Pertambangan, pada tahun 1996.

James R Moffett, pemimpin PT. Freeport Indonesia membina jalinan persahabatan dengan Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya yang pastinya untuk mengamankan bisnis pertambangan yang bernilai milyaran dolar tersebut.

Berdasarkan laporan New York Times,  Desember 2005, PT. Freeport Indonesia mengaku telah membayar TNI untuk mengusir para penduduk setempat di wilayah pertambangan mereka dengan uang sejumlah US $ 20 juta terhitung sejak 1998 hingga 2004.

Surat-surat dan dokumen-dokumen yang diterima New York Times,  disebutkan bahwa, sejak tahun 1997, Kementrian Lingkungan Hidup sudah seringkali memberi peringatan kepada Freeport. Karena, PT. Freeport ini telah melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup.

Perhitungan dari PT. Freeport sendiri menunjukkan bahwa penambangan yang mereka lakukan telah menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar 6 milliar ton. Sebagian besar limbah tersebut dibuang di pegunungan sekitar lokasi pertambangan atau ke sungai-sungai dekat Taman Nasional Lorentz (sebuah hutan hujan tropis yang diberi status khusus oleh PBB).

Laporan riset yang dilakukan oleh Parametrix, sebuah perusahaan konsultan Amerika, diberikan kepada New York Times oleh Kementrian Lingkungan Hidup, tercatat bahwa hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri limbah tambang Freeport tidak cocok lagi menjadi tempat habitat makhluk hidup akuatik.

Namun, Ketika New York Times (berkali-kali) meminta ijin untuk mengunjungi daerah pertambangan tersebut, kepada Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia, semua permintaannya tersebut ditolak.
Dokumen-dokumen Freeport yang diterima oleh New York Times,  menunjukkan bahwa Freeport memberikan uang sebanyak US $ 20 juta untuk Jenderal, Kolonel, Mayor, Kapten Militer, polisi serta unit-unit militer.

Freeport membangun infrastruktur militer, barak, kantor-kantor pusat, ruang makan, jalanan, serta memberikan 70 buah jenis Land Rover dan Land Cruiser yang diganti setiap tahunnya untuk militer Indonesia di Papua.

Freeport melakukan mekanisme pengamanan di daerah pertambangannya. Beberapa di antaranya dilakukan dengan membangun fasilitas dan infrastruktur militer serta pembentukan badan-badan khusus. PT. Freeport Indonesia pun telah membentuk suatu badan khusus, yakni Emergency Planning Operation (Perencanaan Operasi Darurat) untuk menangani hubungan baru Freeport dengan militer Indonesia. Di mana dalam badan tersebut, ada seorang bekas agen CIA, atase militer di Kedubes Amerika yang berada di Jakarta serta dua orang mantan perwira militer Amerika.

Perencanaan Operasi Darurat, mulai melaksanakan tugasnya dengan melakukan pembayaran secara berkala setiap bulannya kepada para Komandan TNI di Papua, sedangkan pembayaran kepada para Polisi dilakukan oleh Security Risk Management Office (Kantor Pengelolaan Risiko Keamanan).

Data-data dan dokumen yang diperoleh oleh New York Times diperoleh dari seorang sumber yang dirahasiakan dan Global Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan laporan Paying for Protection (Bayaran Perlindungan) mengenai hubungan Freeport dengan militer Indonesia, pada bulan Juli 2011.

Chris Ballard, ahli antropologi Australia, pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, aktivis HAM dari Amerika, memperkirakan 160 orang telah dibunuh oleh tentara miilter (TNI) pada tahun 1975-1997, di daerah pertambangan Freeport.

Jika kita mendengar dan melihat pemberitaan yang akhir-akhir ini disiarkan mengenai penembakan dan tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, ,isalnya saja, pemberitaan tentang terbunuhnya Petrus Ajam Seba, seorang buruh di Freeport dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh TNI terhadap masyarakat Papua, tidak akan terlepas dari masalah pelanggaran HAM semata, tetapi juga terkait dengan kepentingan bisnis global, kepentingan bisnis para invenstor PT. Freeport Indonesia, terutama yang memiliki saham terbesar di perusahaan tersebut.

Sumber-sumber:
Laporan investigatif wartawan New York Times,  Jane Perlez, Raymond Bonner dan Kontributor Evelyn Rusli, "Below a Mountain of Wealth, a River of Waste," 27 Desember 2005.
Rakyat Merdeka, "Menyusuri Sungai Limbah di Kaki Gunung Emas Freeport." Ditulis secara bersambung, 16-22 Februari 2006.


Happy reading and enjoy it :)

No comments

your comment awaiting moderation